Demak, Demaknews.id – Rujak Moro khas Desa Morodemak, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak laris diburu warga. Rujak dengan campuran petis ikan laut tersebut selalu menjadi andalan warga rantau setempat saat musim mudik.
Pasalnya dari penjualan di hari normal, melonjak dua kali lipat saat puasa di musim mudik lebaran Hari Raya Idul Fitri.
Nama Rujak Moro merupakan nama yang disematkan warga luar dari desa tersebut. Warga sekitar menyebutnya ‘Rujak Kecap’ dan ada juga yang menyebutnya sebagai ‘Rujak Pedo’
Satu penjual Rujak Moro, Rosidah (42) mengatakan, omset hariannya sekitar Rp 250 – Rp 300 ribu. Sementara di masa puasa ramadan saat musim mudik hari raya bisa mencapai Rp 500 – 600 ribu per hari.
“Ramai itu pas musim mudik Hari Raya Idul Fitri, mulai puasa. Biasanya yang dicari perantau itu rujak ini. Perantau itu pikirannya kalau mudik ya rujak ini,” ujar Rosidah yang sudah menjual rujak tersebut sekitar 15 tahun, Rabu (18/8/2021).
Rosidah menuturkan, rujak yang ia jual juga biasa dipesan oleh remaja setempat yang bekerja di pabrik. Remaja itu biasa membawakan pesanan teman-teman kerjanya.
“Anak pabrik di sini juga sering beli, pesan 10 untuk teman-temannya dibawa ke pabrik,” terangnya.
Rosidah menjelaskan, komposisi bumbu rujak tersebut yaitu dari jeruk nipis, bawang putih, gula merah, buah asem dan petis ikan pindang. Sementara kuah kecapnya terdiri dari campuran laos, sere, kluwak. Terkait buah yang menjadi campuran biasanya terdiri dari kedondong, mangga, mentimun, krai, blimbing, nanas.
“Yang khas itu bumbunya, buah apa aja bisa,” terang Rosidah.
Harga rujak tersebut bervariatif dan murah. Ukuran biasa dengan harga Rp 3000 – Rp 5000, sementara ukuran besar atau makan bersama Rp 10.000 – Rp 15.000. Warga bisa mendapatkannya di sebagian depan rumah warga area Desa Morodemak dari pagi hingga malam hari.
BACA JUGA: Usai Jalani Isolasi Terpusat, Seluruh Warga Kudus Dipulangkan
Rosidah menambahkan, Rujak Moro tersebut biasa disantap dengan krupuk rambak pasir. Yaitu krupuk yang hanya ada di desa tersebut, berbahan kulit ikan dan digoreng dengan pasir, tanpa minyak yang biasa dalam proses penggorengan.
Rosidah menjelaskan, rujak tersebut merupakan racikan turun temurun yang ada di desa tersebut. Ia mengatakan bahwa ibu dan neneknya dulu sudah berjualan rujak tersebut.
“Ini tradisi orang kuno. Turun temurun,” ujar Rosidah.
Rosidah bukanlah penjual Rujak Moro satu-satunya di desa tersebut. Rosidah menyajikan bumbu setiap pesanan dengan bahan bumbu sekali pesanan. Ia mengatakan agar takaran bumbunya pas dan terasa enak.
BACA JUGA: H-2 Lebaran, Ribuan Ketupat Pasar Bawang Habis Terjual
“Bisa barengan, tapi tidak enak. Kalau satu-satu bisa lebih pas memberi sedikit banyak bahannya,” terangnya.
Sementara Sekretaris Desa Morodemak, M Syaifudin mengatakan, rujak tersebut memiliki rasa yang khas buatan warga setempat. Menurutnya, Rujak Moro sudah banyak dibuat orang desa tetangganya namun tidak sama rasanya.
Syaifudin mengatakan, orang baru yang makan rujak tersebut biasanya akan merasa aneh dengan rasanya, karena berbagai campuran dalam bumbu rujaknya, namun setelah sudah mencicipinya dijamin akan ketagihan.
“Teman saya kuliah dulu seperti itu. Awalnya kata dia rasanya aneh saat mencicipi, tapi kemudian saat saya pulang kampung justeru dia yang kerap mengingatkan saya untuk tidak lupa bawa Rujak Moro,” tuturnya yang lulusan S1 UIN Walisongo Semarang.
Syaifudin menambahkan, banyaknya minat Rujak Moro membuat warga setempat dikenal identik dengan rasa khas rujaknya, meskipun orang tersebut sudah tidak bertempat tinggal di desa tersebut.
“Misalkan ada orang Morodemak dapat pasangan desa tetangga, lalu menetap di sana. Pasti kebanyakan jualan Rujak Moro karena banyaknya peminat. Rata rata di luar sana yang jualan Rujak Moro pasti orang Morodemak,” pungkasnya. (Sai-03)